Untuk membiayai transisi energi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) didorong membentuk tim khusus untuk menagih janji negara besar terkait program Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar, atau Rp300 triliun (kurs Rp15.000/US$).
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari, awalnya, mempertanyakan apakah Kemenkeu memiliki tim khusus atau semacam satuan tugas (satgas) untuk menagih komitmen JETP dari negara maju.
Pertanyaan itu disampaikan saat rapat dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu. “Pak Febrio, di Kemenkeu itu ada tidak ya satgas khusus yang memiliki tugas ‘menagih’ komitmen dari negara-negara internasional,” kata Ratna, dikutip Rabu (22/11/2023).
“Saya berharap bahwa lembaga atau satgas ini jalannya bisa agak agresif supaya komitmen yang sudah disampaikan negara-negara besar tersebut juga segera kita peroleh dan menjadi sumber pendanaan yang besar juga untuk peningkatan transisi energi maupun pengurangan emisi di Indonesia,” timpalnya.
Gayung bersambut. Pernyataan Ratna langsung disambut Ketua Komisi VII DPR asal Partai NasDem, Sugeng Suparwoto. Dalam hal ini, Kemenkeu harus mengawal dan menindaklanjuti janji negara maju yang tergabung dalam G-7 yakni program JETP yang disampaikan dalam KTT G20 di Bali pada November 2022.
“20 miliar dolar AS kan besar. Karena kalau kita dengar dari versi PT PLN (Persero) syarat-syaratnya tidak mudah, bahkan lantas menjadi semacam ketidakmandirian dan sebagainya,” beber Sugeng.
Menginngatkan saja, program JETP (Just Energy Transitions Partnership) yang dijanjikan G7. Intinya, mereka siap mendanai transisi energi di Indonesia, lewat program itu senilai US$200 miliar.
Sayang, pendanaan yang dijanjikan bukan berbentuk hibah, melainkan pinjaman alias utang. Celakanya lagi, bunganya cukup tinggi karena menggunakan bunga komersiil.
Pekan lalu, saat Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika Serikat (AS), menyindir negara maju. Menurutnya, pendanaan transisi energi dari AS Cs hanya akan menambah utang baru bagi negara miskin dan berkembang.
“Namun, kita tahu semuanya sampai saat ini, sampai saat ini yang namanya pendanaan iklim (transisi energi) masih business as usual. Masih seperti commercial bank. Padahal seharusnya lebih konstruktif, bukan dalam bentuk utang yang hanya akan menambah beban negara-negara miskin maupun berkembang,” kata Jokowi dalam Kuliah Umum di Stanford University, AS, Rabu (15/11/2023).
Leave a Reply
Lihat Komentar