Gemoy, Kepribadian dan “The End Justifies the Means”

Gemoy, Kepribadian dan “The End Justifies the Means”

Jadi, jangan pernah berpikir bahwa bersikap woles itu gampang-gampang saja. Dari contoh di atas, meski saat ini seolah “cool, tak acuh, abai, emangnya gue pikirin” menjadi sikap yang ingin ditunjukkan Prabowo dengan mengusung tinggi-tinggi perilaku “jogetin saja” dan “senyumin saja”, di lapangan realitasnya kita lihat lain. 

Oleh      :  Darmawan Sepriyossa

Pada sebagian warga, kesan kuat bahwa Gibran Rakabuming sampai ke ‘kursi’ calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) melalui manipulasi di Mahkamah Konstitusi, tidak gampang terhapus meski proses Pilpres 2024 tetap berjalan seolah tanpa masalah. Bagi kalangan ini, misalnya yang dengan kuat disuarakan Majalah TEMPO, putra sulung Presiden Jokowi itu sejatinya telah kehilangan legitimasi sebagai calon wakil presiden. 

“Perubahan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum yang membuat ia cukup syarat menjadi pendamping Prabowo Subianto cacat secara formil. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menilai para hakim konstitusi yang menguji pasal itu melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan,”tulis TEMPO pada rubrik “Opini”, yang tak lain adalah editorial majalah itu edisi 13-19 November, beredar 12 November 2023 lalu.  Dengan proses yang berjalan seperti itu, TEMPO menyatakan “Gibran tak berhak mengikuti kontestasi Pemilu 2024 karena masuk gelanggang dengan aturan main yang telah diakali bapak dan pamannya.” 

Di akhir editorial, seolah membuat kesimpulan, TEMPO menulis tegas, bahkan keras. “Prabowo-Gibran, dengan demikian, menjadi kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern: produk gagal reformasi bersanding dengan anak haram konstitusi. Jika Gibran tak mundur, tatanan bernegara akan makin rusak karena Jokowi makin tergoda menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan anaknya.”

Dengan berlaku tak acuh, seolah menutup mata pada proses yang mendapat kritik keras publik itu, tak pelak sejatinya posisi Prabowo pun  tak aman. Ia  rawan dituding warga sebagai seorang Machiavellian yang menghalalkan segala cara,  demi ambisi. Konon, pada kitab tua “Illiad” karangan penulis Yunani kuno, Homerus, diceritakan bahwa masa kecil para penguasa polis itu diasuh seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Belakangan—itu pun telah beratus tahun lalu– filsuf politik Niccolo Machiavelli menyatakan itu sebagai kiasan. Seorang politisi, kata Machiavelli, harus tahu bagaimana mengombinasi kedua sifat itu. Sifat manusia dan Binatang. “Yang satu tanpa yang lain,” kata Machiavelli,” tak akan menjamin kekuasaan.”

Persoalannya, kalau pada urusan mendasar yang melibatkan Mahkamah Konstitusi saja Prabowo sudah tak acuh dan abai, kekuatiran orang bahwa ia mengidap sikap Machiavellian bahwa “the end justifies the means”—alias tujuan menghalalkan segala cara–sebagaimana ditulis Machiavelli dalam “The Prince”, bisa benar adanya. 

Bukankah dalam hukum pun seseorang yang membiarkan sesuatu kejahatan terjadi tanpa ada usaha kuat mencegahnya adalah perbuatan salah dalam katagori “guilty by omission”?  Apalagi, sastrawan besar Italia, Dante Alighieri, bahkan bilang,”Tempat-tempat terpanas di neraka disediakan buat mereka yang pada saat krisis moral tetap saja sok netral”?

“Clue” tersebut bisa dirujuk bahkan pada hal yang mungkin dianggap sepele: perubahan drastis gaya keseharian Prabowo. Tidakkah terasa bahwa semakin hari Pak Prabowo kian mempersonifikasi (atau mungkin tepatnya “di”) diri pada istilah anak muda “gemoy”? Itu istilah anak milenial dan generasi Z untuk menyebut sesuatu itu “lucu” dan “menggemaskan”. Secara etimologis—duileh!—“Gemoy” datang dari kata “gemas”, plus sekian banyak proses kimia-bahasa lainnya hingga menjadi “gemoy” di lidah anak-anak muda saat ini. 

Dan itu tentu bukan tanpa proses dan skenario. Mulai dari deklarasi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, pada 24 Oktober 2023 lalu, di mana para peserta ramai-ramai meneriaki Prabowo dengan ‘gemoy’. Lalu saat peresmian Posko Pemilih Prabowo-Gibran (Kopi Pagi) di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan, Senin, 30 Oktober 2023. Prabowo kembali diteriaki para fans PSI-Gibran sebagai “Pak Gemoy”. Yang paling dekat, saat pengundian dan penetapan no urut pasangan calon peserta Pilpres, 14 November lalu. Kali ini, selain teriakan yel-yel, Gibran sendiri kala itu mengangkat ornamen bertuliskan “Gemoy” sembari mengambil no undian.

Tentu saja kita tak hendak mempermasalahkan genuine tidaknya sebutan itu.  Mungkin, bagi KIM, cara itu memang sengaja dilekatkan untuk menjadi gimmick, guna menanggalkan kesan keras yang selama ini melekat pada Prabowo. Masalahnya, sebagai warga pemilih, adalah hak publik untuk menyoal mengapa Prabowo mau dikesankan seperti itu? Apalagi, mengingat kesan personalitas Prabowo yang kuat di masyarakat selama ini, wajar bila ada yang mempertanyakan kok mau-maunya beliau berbuat dan dibuat sebagai apa saja? Apakah alasannya adalah “asalkan jadi presiden”? Belum lagi bila pertanyaan publik itu merambah pada urusan “bolehkah upaya imagology, pencitraan atau apapun itu sampai mengubah kebenaran menjadi nyaris dusta, atau benar-benar dusta seperti yang menjadi pengalaman Filipina dalam sekitar satu dekade ini? Di sana konten-konten medsos menjadi saluran revisi sejarah atas fakta kekejian dan kejahatan Ferdinan Marcos, hingga membuat Ferdinan Marcos, Jr alias Bongbong, terpilih menjadi presiden negeri itu.       

Jadilah diri sendiri

Tahap selanjutnya dari semua ini adalah pertanyaan “mengapa PS tidak memilih menjadi diri sendiri”?  Boleh jadi ada sebagian yang akan menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Misalnya, dengan mencoba memaklumi bahwa “pencitraan” hanyalah cara, alat, alias sarana mencapai tujuan. Bukankah nanti, bila tujuan telah diraih, semua bisa kembali ke jatidiri pribadi. Siapa juga mau terus-terusan capek berperan sebagai “orang lain”?

Benar pula bahwa mungkin pertanyaan itu pun akan melahirkan anak-anak pertanyaan lain. Seperti, kalau bisa berganti peran, sifatnya kayak bunglon, dong? Bisa bermimikri, berubah-ubah tergantung kondisi dan keperluan? Sayangnya, bermimikri alias berlaku seperti bunglon tak pernah dipandang elok dalam budaya Indonesia. Budaya daerah mana pun. Bunglon bahkan menjadi lambang manusia oportunis yang tak punya kesejatian selain mencari keuntungan.     

Tak hanya budaya Indonesia, peradaban manusia umumnya mengutamakan kejatidirian. Bila penulis besar Paulo Coelho bisa dianggap merepresentasikan sekaligus budaya Eropa dan Amerika Latin, kata-kata mutiaranya menasihatkan kita untuk jadi diri kita yang sejati. “Jika kamu ingin seseorang setia dan mencintai dirimu,”kata Coelho, “mulailah dengan mencintai diri sendiri. Kalau kamu saja tak menyukai dirimu, bagaimana bisa orang lain menyukaimu?”

Mengacu masa lalu, filsuf Yunani kuno Socrates memulai pembentukan pribadi murid-muridnya dengan memahatkan kalimat pendek di benak mereka. “Gnothi Seauton! Kenalilah dirimu sendiri!” Kata-kata guru Plato, yang bermuridkan Aristoteles itu mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap diri sendiri. Kalimat pendek itu bahkan menjadi bagian dari metode penting Socrates dalam pembelajaran: metode maieutik, yakni cara mencari kebenaran dan mengeluarkan apa yang tersimpan dalam jiwa seseorang, termasuk segala potensinya. 

Dengan “Kenalilah dirimu sendiri” itu, Socrates dalam peninggalan pentingnya,“Apologia”, mengungkapkan bahwa orang yang hidup tanpa mengenali diri sesungguhnya tidak layak untuk menjalani kehidupan. Belakangan, dengan lebih jauh, ‘cucu murid’-nya, Aristoteles, bahkan bilang,”Hidup yang tak ditafakuri, adalah hidup yang tak layak dijalani.”  Itu juga jelas terkait erat dengan urusan pengenalan diri. 

Dari khazanah Islam–meski kemudian disanggah banyak ulama sebagai hadits, termasuk Syekh Jalaluddin Asy-Suyuthi, Syaikh Al-Albani dan Ibnu Taimiyah di antaranya–ungkapan Arab  ini menegaskan pentingnya menjadi diri sendiri. “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu–Siapa yang mengenal dirinya berarti dia mengenal Tuhannya.” 

Apalagi kebiasaan berpura-pura pun pada akhirnya rawan memunculkan kepribadian ganda, bukan? Secara literasi, meski dalam The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation“, Drew Westen menyatakan bahwa calon pemimpin yang lebih santai dan penuh canda dapat membuat diri lebih bisa diterima khalayak, itu tidaklah boleh dianggap sebuah nasihat untuk berlaku penuh pura-pura.  Pasalnya, buku lain, setidaknya “The Audacity to Win“, yang ditulis David Plouffe dalam kurun waktu yang hampir sama, justru mengungkap pentingnya strategi komunikasi politik yang melibatkan keaslian sikap dan gaya. Santainya Barack Obama pada dalam kampanye Pilpres Amerika Serikat 2008, datang dari kesejatian, bukan kepura-puraan. 

Kecuali mayoritas rakyat Indonesia memang pelupa, public harusnya ingat bahwa citra Prabowo sebelumnya adalah gambaran seorang militer yang keras dan cenderung pemarah. Lihat saja peristiwa konferensi pers pada 14 Juli 2014 di kantor Freedom Institute, Jakarta Pusat, yang diliput media massa. Saat itu Prabowo menunjukkan kemarahan kepada The Jakarta Post dengan menyebut media itu brengsek.

Yang hingga kini masih diingat publik, bahkan menjadi meme, adalah peristiwa di saat kampanye terbuka di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 8 April 2019. Pidato Prabowo saat itu diwarnai aksi gebrak-gebrak meja podium. 

Oh ya, ada pula yang masih hangat, bahkan mungkin masih berseliweran di media sosial kita. Pada acara “Mujadalah Kiai Kampung” di Malang, 18 November 2023, entah mengapa Prabowo seolah agak sensitif saat seorang peserta bertanya dengan membawa-bawa kata “singkong”, “pohong” atau ubi kayu. Paling tidak, jawaban Prabowo saat itu terkesan jauh panggang dari api pertanyaan peserta. 

Pada video lain yang beredar, tampaknya di acara yang sama, Prabowo juga terkesan agak kesal saat ditanya alasan program bagi-bagi makan siang dan susu gratis. “Kalau Bapak tidak mau, ya tidak apa-apa!” kata Prabowo dengan nada meninggi, sebagai jawaban pertanyaan. Ramai berseliweran di potongan video singkat di medsos, yang kedua bahkan tersiar sebagai berita di Metro Tv. 

Jadi, jangan pernah berpikir bahwa bersikap woles itu gampang-gampang saja. Dari contoh di atas, meski saat ini seolah “cool, tak acuh, abai, emangnya gue pikirin” menjadi sikap yang ingin ditunjukkan Prabowo dengan mengusung tinggi-tinggi sikap “jogetin saja” dan “senyumin saja”, di lapangan realitasnya kia lihat lain. 

Oh ya, saya tadi menyinggung fenomena politik di Filipina. Meski ayahnya—Ferdinan Marcos,Sr—dikenal sebagai penjahat kemanusiaan dan pemimpin yang korup. Investigasi Politico Magazine, 10 Juni 2016, bahkan menulis bahwa kejahatan Marcos senior “..diperkirakan sebagai penjahat kemanusiaan yang membunuh 3.240 orang, menyiksa 34.000 orang dan menjarah kekayaan Filipina sekitar 10 miliar dolar AS”, anaknya, Ferdinan “Bongbong” Marcos, Jr, tahun lalu terpilih sebagai presiden negeri itu. 

Konon, banyak pihak di Filipina melihat kemenangan itu dimulai dengan upaya Bongbong cs mengubah citra Marcos, dari “penjahat kemanusiaan, presiden terkorup, pencoleng harta negara”, menjadi “presiden terbaik yang membawa Filipina kepada puncak kesejahteraan masyarakatnya”. Upaya itu telah dimulai sejak lama, awal 2000-an. Tetapi perkembangan teknologi, apalagi dengan penyebaran massif media social, telah membuat upaya itu makin mungkin dan ‘murah’. Lewat medsoslah, kemudian, upaya pembersihan—yang sejatinya pembohongan dan pemutarbalikan sejarah itu dilakukan.  

“Jadi, jika Anda menyebutnya revisionisme sejarah, memang demikianlah adanya. Namun dilakukan dengan cara yang berbasis data dan ilmiah. Anda melakukan penelitian secukupnya untuk mencari tahu apa yang diyakini orang tentang keluarga, individu, politisi tertentu, dan kemudian Anda mencari tahu apa yang bisa meyakinkan mereka untuk berpendapat sebaliknya,”kata Brittany Kaiser, mantan karyawan Cambridge Analytica, dalam sebuah wawancara dengan media Filipina, Rappler, dalam acara Rappler Talk. Sebagian wawancara itu kemudian dimuat sebagai artikel di Rappler.com pada 15 Juli 2020. Cambridge Analytica sendiri merupakan perusahaan konsultan PR dan politik AS, yang disebut-sebut didekati Bongbong untuk upaya “cuci sejarah” itu.   

Kaiser, sebagai whistleblower mengatakan, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr, putra mendiang sang diktator, telah mendekati perusahaan data politik Cambridge Analytica, untuk “mengubah citra” keluarga Marcos, khususnya sang ayah, di media sosial. Dalam wawancara itu Kaiser mengatakan bahwa permintaan Marcos Jr tersebut telah disetujui staf dan dibicarakan di perusahaan konsultan politik yang sekarang sudah “bangkrut” itu. 

“Jadi kami mendapat permintaan langsung dari Bongbong Marcos untuk melakukan rebranding keluarga. Hal ini disampaikan melalui staf internal di Cambridge Analytica dan diperdebatkan. Ada beberapa orang yang tidak ingin menyentuhnya dan ada orang lain, seperti CEO kami Alexander Nix, yang melihatnya sebagai peluang finansial,”kata Kaiser.

Pihak Bongbong saat itu pun tentu membantah. Pada 16 Juli 2020, Juru Bicara Marcos Jr, Vic Rodriguez, membantah dengan mencap laporan Rappler itu sebagai “jelas-jelas palsu, palsu, dan menyesatkan.” “Mantan Senator Marcos tidak pernah menghubungi mereka dan, seperti kebanyakan dari kita, hanya mengetahui keberadaan Cambridge Analytica melalui laporan aktivitas kontroversialnya di media,” kata  Rodriguez dalam pernyataan yang dikirimkan ke berbagai media.

Tetapi, sejatinya pembongkaran Rappler tidak dimulai dari wawancara dengan Kaiser sang whistleblower. Pada 2019, Rappler menemukan jaringan disinformasi luas yang digunakan keluarga Marcos untuk membuka jalan bagi kebangkitan mereka di masa depan dalam politik Filipina. Hasilnya, kini Marcos Jr adalah presiden Filipina. Ada yang tak suka. Tapi kemenangan Bongbong kabarnya sampai 59 persen lebih! 

Oh ya, apa hubungannya dengan kita di Indonesia? Hubungan paling cetek, jadikanlah semua itu ibrah. Lebih dari itu, Anda yang seharusnya memutuskan sendiri. [  ]

Sumber: Inilah.com