Risiko Kesepian Setara Merokok 15 Batang Sehari dan 30% Kematian Dini

Risiko Kesepian Setara Merokok 15 Batang Sehari dan 30% Kematian Dini

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa kesepian dapat segera menjadi epidemi global yang menyebabkan demensia, penyakit jantung, stroke, dan kematian dini. Bagaimana sebenarnya efek kesepian terhadap kesehatan seseorang?

Baru-baru ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pembentukan komisi internasional yang bertugas memerangi masalah kesehatan masyarakat global berupa kesepian dan isolasi sosial. Komisi Hubungan Sosial WHO ini akan dipimpin bersama oleh ahli bedah umum Amerika Serikat Dr. Vivek Murthy dan Komisaris Pemuda Uni Afrika Zimbabwe, Chido Mpemba.

Awal tahun ini, Murthy menerbitkan sebuah nasihat yang menyatakan bahwa risiko kesehatan yang terkait dengan kesepian setara dengan merokok 15 batang rokok setiap hari. Laporan tersebut juga mengatakan kesepian meningkatkan risiko kematian dini hampir 30 persen. Murthy mendorong orang-orang yang kesepian untuk mencari ‘kekuatan penyembuhan’ dengan melakukan hubungan sosial.

“Siapa pun, di mana pun, bisa merasa kesepian atau terisolasi secara sosial,” tulis WHO di situsnya. “Di semua usia dan wilayah, kesepian dan isolasi sosial berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental, serta kesejahteraan komunitas dan masyarakat kita.”

Masih menurut WHO, satu dari empat orang lanjut usia mengalami isolasi sosial. Dalam data yang sama juga mengkhawatirkan, yakni hingga 15 persen remaja mengalami kesepian. WHO memperkirakan kedua angka ini bersifat konservatif.

Kesepian juga dikaitkan dengan peningkatan 50 persen risiko demensia pada orang lanjut usia. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke pada orang dewasa sebesar 30 persen. Penelitian sebelumnya telah menghubungkan isolasi sosial dengan peningkatan risiko hipertensi.

WHO mengatakan kesepian bisa memaksa anak putus sekolah atau perguruan tinggi. Hal ini juga dapat mempengaruhi kinerja orang di tempat kerja dan dapat berdampak pada perekonomian suatu negara.

Fenomena ini juga banyak mempengaruhi populasi muda. Survei menyebutkan bahwa hampir 5% hingga 15% remaja saat ini menderita kesepian. Di Afrika, 12,7% remaja mengalami kesepian dibandingkan dengan 5,3% di Eropa. 

Tingkat kesepian di seluruh dunia hampir sama, terlepas dari status dan tingkat pendapatan suatu negara. Khususnya di Afrika, Mpemba mengatakan kepada Guardian bahwa populasi di benua tersebut yang sebagian besar adalah kaum muda menghadapi tantangan seputar perdamaian, keamanan, pengangguran dan krisis iklim, yang merupakan faktor-faktor berkontribusi terhadap isolasi sosial. Pandemi COVID-19 juga dilaporkan membuat tingkat kesepian pada individu meningkat secara internasional.

Inisiatif WHO ini akan berlangsung selama tiga tahun dan akan berupaya membangun kebijakan global yang mendorong orang-orang yang berisiko tinggi dan terpencil untuk berintegrasi ke dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Kelompok ini akan menegaskan bahwa isolasi sosial bukanlah masalah yang bersifat individual, melainkan masalah yang berdampak pada seluruh komunitas.

Komisi Hubungan Sosial beranggotakan 11 perwakilan WHO dari AS, Zimbabwe, Swedia, Pakistan, Jepang, Vanuatu, Chili, dan Maroko. “Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan sekelompok komisaris yang luar biasa dalam memajukan hubungan sosial – sebuah komponen penting dari kesejahteraan,” kata Murthy dalam sebuah pernyataan. “Bersama-sama, kita dapat membangun dunia yang tidak terlalu kesepian, lebih sehat, dan lebih tangguh.”

Efek Kesepian terhadap Kesehatan

Kesepian tidak hanya memengaruhi emosi tetapi berdampak buruk pada tubuh. Pengaruhnya meluas ke jalur fisiologis, termasuk poros hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), peradangan, metabolisme, perbaikan, dan fungsi otak. Kesepian kronis dapat memicu respons stres yang berlebihan, mengganggu regulasi poros HPA, dan menyebabkan kondisi kesehatan yang merugikan. 

Mengutip Psychology Today, dampak kumulatif dari perubahan fisiologis diperkirakan merupakan “sindrom imunometabolik”, yang menyoroti keterkaitan antara kesepian dan kesehatan. Pada dasarnya, kesepian dapat membuat kita berada dalam kondisi stres yang berkepanjangan, sehingga mengerahkan sumber daya tubuh untuk melindunginya dari bahaya.

Perubahan Epigenetik

Ada beberapa bukti bahwa kesepian dapat mempengaruhi tubuh dengan mengubah cara kerja gen. Metilasi, pelekatan gugus metil ke promotor gen, adalah bagian dari Conserved Transcriptional Response to Adversity (CTRA). Respons CTRA ini menyebabkan gen-gen dalam tubuh menjadi lebih atau kurang aktif ketika seseorang menghadapi situasi sosial yang sulit. Meskipun diperlukan lebih banyak penelitian, pola ekspresi gen ini terkait dengan dampak kesehatan yang negatif.

Telomer dan Penuaan

Telomer, rangkaian DNA berulang di ujung kromosom, diduga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti kesepian. Telomer menjadi lebih pendek seiring dengan duplikasi sel, artinya kita sebenarnya dapat menyimpulkan usia seseorang dari panjang telomernya. Menariknya, kita juga dapat mengetahui apakah seseorang menua lebih cepat dari yang kita perkirakan berdasarkan usia kronologisnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa individu yang mengalami kesepian kronis memiliki telomer yang lebih pendek artinya kesepian dapat menyebabkan orang menua lebih cepat.

Meskipun temuan ini berpotensi mengejutkan, terdapat beberapa ketidakkonsistenan dalam literatur, yang menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami potensi peran kesepian dalam penuaan biologis.

Penyalahgunaan zat

Kesepian berhubungan dengan berbagai masalah penggunaan narkoba, sehingga menciptakan hubungan dua arah yang kompleks. Dikatakan bahwa orang menyalahgunakan zat untuk merasakan sesuatu atau berhenti merasakan sesuatu. Dan mereka yang mengatur emosinya dengan merokok, penggunaan alkohol, ganja, dan opiat mungkin juga melakukan hal tersebut. 

Hubungan dua arah ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan zat itu sendiri dapat menyebabkan lebih banyak kesepian—misalnya dengan merusak hubungan yang sudah kita miliki. Perpaduan yang rumit antara kesepian dan penggunaan narkoba menunjukkan adanya hubungan yang masuk akal dari kedua arah, menjadikannya aspek yang memiliki banyak segi dalam hubungan antara kesepian dan kesehatan.

Perilaku Terkait Kesehatan

Lebih dari sekadar perasaan, kesepian memengaruhi tindakan kita yang meningkatkan kesehatan. Hal ini terkait dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik, risiko malnutrisi, penurunan berat badan yang tidak disengaja, perilaku makan, dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan pada orang lanjut usia—gejala yang hampir sama dengan depresi.

Intinya, orang yang kesepian merasa lebih sulit memotivasi diri untuk menjaga kesehatan. Hal ini menjadi sangat jelas selama pandemi COVID-19 baru-baru ini, dimana kesepian tampaknya mengurangi perilaku yang mendukung kesehatan seperti menjaga jarak dan memakai masker.

Gangguan Tidur

Kurangnya keterhubungan dengan orang lain juga dapat mengganggu tidur. Meta-analisis mengungkapkan hubungan moderat antara kesepian dan masalah tidur di berbagai kelompok umur. Kesepian secara konsisten berkorelasi dengan gangguan tidur, baik yang dilaporkan sendiri maupun diukur secara objektif, sehingga memperkuat hubungan kuat antara kesepian dan masalah tidur.

Kesepian dikaitkan dengan hampir setiap aspek kehidupan, itulah sebabnya mengatasinya sebagai masalah mendesak sangatlah penting. Manusia adalah makhluk sosial dan tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya koneksi. 

Sumber: Inilah.com