Matinya Etos Perlawanan Partai Golkar


Pragmatisme yang melanda Golkar saat ini juga bisa dijelaskan dengan teori “Iron Law of Oligarchy” dari Robert Michels. Menurut Michels, dalam setiap organisasi, termasuk partai politik, selalu ada kecenderungan menuju oligarki, di mana kekuasaan terpusat di tangan segelintir elit. Dalam kasus Golkar, para elit partai tampaknya lebih memilih bersikap pasif terhadap ancaman pembajakan, asalkan posisi dan kepentingan mereka tetap terjaga.

 

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

Partai Golongan Karya (Golkar) telah menjadi saksi dan pemain utama dalam sejarah politik Indonesia sejak era Orde Baru. Namun, dalam dinamika politik terbaru, partai ini menghadapi ancaman serius berupa “pembajakan” dari pihak eksternal yang berpotensi menggerus jati diri dan etos perlawanan yang dulu pernah menjadi fondasi kekuatannya. 

Wacana pengangkatan Bahlil Lahadalia sebagai ketua umum Golkar, serta kemungkina  masuknya Jokowi sebagai ketua Dewan Pembina, menjadi simbol betapa rapuhnya mekanisme dan daya tahan internal partai ini. Golkar, yang sejak awal berdirinya tidak pernah dipimpin oleh figur dari luar, kini menghadapi kenyataan pahit: perlawanan dari dalam terhadap upaya pembajakan tersebut nyaris tidak ada.

 

Tradisi kepemimpinan internal

Golkar lahir dari kolaborasi ide-ide tiga tokoh besar: Soekarno, Soepomo, dan Ki Hajar Dewantara. Awalnya, Golkar bukanlah partai politik dalam pengertian konvensional, melainkan sebuah gerakan golongan fungsional yang mewakili berbagai kelompok masyarakat. Dalam perjalanannya, terutama di bawah kendali Orde Baru, Golkar menjadi alat politik utama dalam mempertahankan kekuasaan negara. Pada masa itu, kepemimpinan Golkar selalu berada di tangan tokoh-tokoh internal yang memiliki keterikatan kuat dengan nilai-nilai partai.

Akbar Tanjung adalah salah satu figur yang mencerminkan ketinggian martabat dan cinta akan partai tersebut. Pasca-Reformasi, ketika Golkar dihujat dan bahkan diminta sebagian kalangan masyarakat untuk dibubarkan, Akbar Tanjung tampil sebagai pemimpin yang mampu mempertahankan eksistensi partai. 

Akbar berhasil mengonsolidasikan kader-kader partai, merumuskan kembali strategi, dan mengukuhkan Golkar sebagai kekuatan politik yang relevan di era demokrasi baru pasca-Reformasi. 

Namun, kondisi saat ini sangat berbeda. Golkar yang dulu dikenal memiliki jati diri yang kuat dan daya tahan terhadap berbagai tantangan, kini terlihat lemah dalam menghadapi ancaman pembajakan. Pertanyaannya, mengapa tidak ada perlawanan berarti dari internal partai terhadap skenario pengangkatan Bahlil Lahadalia dan masuknya orang-orang yang bukan ‘figur asli’ Golkar?

 

Dari idealisme ke pragmatisme dan oportunisme 

Golkar saat ini tampaknya lebih diwarnai oleh pragmatisme dan oportunisme politik daripada oleh idealisme. Para kader partai tampak lebih fokus pada kepentingan pribadi dan posisi strategis daripada menjaga integritas nilai-nilai partai. Fenomena ini mencerminkan krisis ideologi dalam tubuh Golkar, di mana prinsip kekaryaan yang dulu menjadi dasar pijakan partai, kini terkikis oleh kepentingan jangka pendek.

Teori-teori kepartaian klasik, seperti yang dikemukakan Maurice Duverger dan Giovanni Sartori, menekankan pentingnya mekanisme demokrasi internal dan ideologi yang solid dalam menjaga stabilitas partai politik. Dalam konteks ini, Golkar pernah menjadi contoh sukses sebuah partai modern yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan identitasnya. Namun, dengan semakin dominannya orientasi pragmatis, Golkar berisiko kehilangan fondasi ideologis yang seharusnya menjadi kekuatan utamanya​. 

Pragmatisme yang melanda Golkar saat ini juga bisa dijelaskan dengan teori “Iron Law of Oligarchy” dari Robert Michels. Menurut Michels, dalam setiap organisasi, termasuk partai politik, selalu ada kecenderungan menuju oligarki, di mana kekuasaan terpusat di tangan segelintir elit. Dalam kasus Golkar, para elit partai tampaknya lebih memilih bersikap pasif terhadap ancaman pembajakan, asalkan posisi dan kepentingan mereka tetap terjaga. Ini menunjukkan betapa jauh Golkar telah bergeser dari semangat awalnya.

 

Demokrasi internal yang tergerus 

Demokrasi internal adalah salah satu pilar utama yang seharusnya dijaga oleh partai politik, termasuk Golkar. Dalam konteks pemilihan ketua umum, misalnya, partai seharusnya menjalankan proses yang transparan, partisipatif, dan melibatkan seluruh elemen partai, mulai dari akar rumput hingga elit partai. Namun, dengan munculnya nama Bahlil Lahadalia tanpa melalui mekanisme yang jelas, Golkar justru menunjukkan kelemahan serius dalam menjaga integritas demokrasi internalnya.

Pembajakan partai politik adalah fenomena yang tidak asing dalam dunia politik Indonesia. Istilah ini mengacu pada situasi di mana mekanisme internal partai dilewati atau dimanipulasi oleh kekuatan eksternal untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus Golkar, pembajakan ini terlihat dari upaya untuk memasukkan figur eksternal yang tidak memiliki keterikatan ideologis dengan partai. Fenomena ini menandakan bahwa Golkar sedang menghadapi krisis identitas yang serius, di mana nilai-nilai partai terancam hilang di bawah kendali elit yang lebih mengutamakan kepentingan pragmatis.

 

Akbar Tanjung dan etos perlawanan

Jika kita bandingkan dengan situasi pasca-Reformasi, perbedaan yang mencolok terletak pada kekuatan perlawanan internal partai. Pada saat itu, Golkar menjadi target utama berbagai tuntutan pembubaran karena dianggap sebagai peninggalan Orde Baru. Namun, di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Golkar tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga kembali menjadi kekuatan politik yang signifikan. Akbar berhasil membangun kembali partai dengan strategi yang fokus pada pembaruan kelembagaan dan penguatan struktur partai.

Keberhasilan Akbar ini mencerminkan semangat perlawanan yang didasari oleh komitmen pada nilai-nilai partai dan upaya menjaga dignity Golkar. Ia memahami bahwa daya tahan partai bergantung pada sejauh mana partai tersebut mampu menjaga jati diri dan nilainya di tengah perubahan zaman. Semangat inilah yang tampaknya hilang dalam kepemimpinan Golkar saat ini, di mana kader-kader partai lebih memilih untuk menyesuaikan diri dengan arus pragmatisme politik daripada melawan demi prinsip dan nilai-nilai.

 

Tantangan Masa Depan Partai Golkar

Golkar saat ini berada di persimpangan yang menentukan nasibnya di masa depan. Jika proses pembajakan ini terus berlanjut tanpa adanya perlawanan dari dalam, Golkar berisiko kehilangan esensinya sebagai partai yang memiliki ideologi dan mekanisme internal yang kuat. Ketergantungan pada figur eksternal untuk memimpin partai hanya akan memperburuk krisis identitas yang sudah mulai terlihat.

Dalam konteks politik Indonesia yang semakin dinamis, Golkar harus segera berbenah jika ingin tetap relevan. Membangun kembali demokrasi internal dan memperkuat komitmen pada nilai-nilai partai adalah langkah pertama yang harus diambil. Tanpa itu, Golkar hanya akan menjadi alat politik bagi pihak luar yang mengejar kepentingan sesaat.

“Matinya Etos Perlawanan Partai Golkar” bukan hanya sekadar frasa retorik, tetapi adalah kenyataan yang sedang dihadapi partai ini. Dari sebuah partai yang dulunya mampu bertahan di tengah badai Reformasi dan menjadi simbol kekuatan politik, kini Golkar tampak rapuh menghadapi ancaman dari luar. Minimnya perlawanan dari dalam partai menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dulu menjadi landasan perjuangan Golkar semakin tergerus oleh pragmatisme dan oportunisme politik.

Jika para kader Golkar tidak segera menyadari ancaman ini dan mengambil langkah untuk mempertahankan dignity partai, maka masa depan Golkar akan semakin suram. Dibutuhkan kepemimpinan yang berani dan komitmen yang kuat untuk mengembalikan Golkar ke jalur yang benar, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh terdahulu seperti Akbar Tanjung. Golkar harus kembali kepada nilai-nilai dasarnya jika ingin tetap menjadi kekuatan yang relevan dan disegani di panggung politik Indonesia. [ ]