Pj Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariadi akhirnya buka suara usai diperiksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi dalam perkara pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi dilingkungan Pemkot Bima.
Lalu Gita mengatakan dirinya diperiksa tim penyidik terkait hubungannya dengan Lutfi dalam kasus tersebut.
“Termasuk situasi kondisi tugas pokok fungsi plus hubungan saya dengan Pak Lutfhi kenal apa tidak dan lain sebagainya,” ujar Lalu Gita usai diperiksa keluar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2023) sore pukul 16.24 WIB.
Lalu Gita yang dulunya menjabat sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemprov NTB dicecar tim penyidik terkait proses perizinan izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan PT. Tukad Mas General Contructor.
“Proses penerbitan izin dari izin usaha pertambangan operasi khusus PT Tukad Mas,” ucap Lalu Gita
Lalu Gita menegaskan melayani proses perizinan itu seusai SOP yang berlaku. Ia pun tidak mengetahui terkait adanya pengondisian dan penerimaan uang dalam proses perizinan tersebut.
“Alhamdulilah sebagai saksi beberapa kasus juga ada pasir besi dan lain sebagainya, biasa. Kita dikonfirmasi kelengkapan persyaratan di dalam proses penerbitan izin dimana ada SOP di sana,” sambung dia.
Menurutnya, surat izin usaha tambang tersebut ia keluarkan pada saat 2 Oktober 2019. Setelah menjabat sebagai Sekda Provinsi NTB, sehingga tidak mengetahui perkembangan proses pengerjaan pertambangan tersebut setelah izin tambang dikeluarkan.
“Pada saat itu saya keluarkan 2 Oktober 2019. Kemudian tanggal 19 Desember 2019, saya menjadi Sekda Provinsi NTB sehingga proses setelah izin keluar saya tidak ikuti perkembangan” tandasnya.
Sebelumnya, KPK resmi menahan Lutfi pada Kamis (5/10/2023) awal bulan. Lutfi selaku Walikota ikut terlibat dalam pengondisian lelang proyek di Pemkot Bima, NTB. Kemudian, ia mendapatkan setoran dari sejumlah kontraktor pihak swasta ikut dalam proyek sebesar Rp 8,6 miliar.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Leave a Reply
Lihat Komentar